PERSOALAN ini semakin mengemuka karena pencucian uang dikaitkan dengan dana yang digunakan jaringan teroris. Sebelum isu terorisme menguak, biasanya masalah pencucian uang selalu dikaitkan dengan perdagangan gelap narkotika, bisnis prostitusi, perjudian, dan perdagangan senjata ilegal. Namun, seiring dengan merebaknya isu terorisme, maka masalah pencucian uang dikaitkan dengan jaringan teroris di Asia Tenggara dan dunia.
Dalam sidang komisi di Konferensi Ke-23 Aseanapol di Manila, terungkap bahwa saat ini otoritas internasional menyoroti Indonesia, Malaysia, dan Filipina karena sejumlah tersangka sudah mulai mengumpulkan dana kemanusiaan dan memiliki hubungan dengan organisasi teroris.
Setelah tragedi WTC pada 11 September 2001, Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), gugus tugas yang dibentuk negara-negara G7 pada tahun 1989 untuk memberantas pencucian uang, memperluas misi dengan ikut serta mencegah mengalirnya dana ke rekening para teroris.
FATF dalam laporan tahun 2001-2002 menyebutkan, organisasi teroris terkait dengan sumber pendanaan yang legal dan ilegal. Organisasi teroris sangat bergantung pada hasil sumber kejahatan yang menghasilkan uang, misalnya perdagangan gelap narkotika, penyelundupan barang dalam jumlah besar, dan kejahatan keuangan antara lain pemalsuan kartu kredit.
Kajian FATF menyebutkan, modalitas pencucian uang yang dilakukan organisasi teroris tidak membedakan dari kejahatan asalnya. Karena itu, aksi terorisme yang dibiayai dengan kejahatan yang menghasilkan uang dan perang melawan pendanaan terorisme dapat diupayakan melalui perangkat pengaturan pencucian uang.
FATF juga menyebutkan, pendanaan terorisme umumnya bergantung pada sumber pendanaan yang sah, yang dikumpulkan melalui organisasi yang sah atau organisasi nirlaba. Dana-dana ini antara lain berasal dari iuran keanggotaan, sumbangan, dan acara kebudayaan dan sosial, yang kemudian disalurkan ke organisasi teroris.
FATF menegaskan pula, pengumpulan dana untuk kepentingan sosial acapkali menjadi "kendaraan" bagi pengumpulan dana pendukung aksi terorisme karena sumber uang yang legal ternyata sangat menyulitkan pendeteksian. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang memiliki jaringan bisnis lintas batas negara juga sering dimanfaatkan untuk pengumpulan dana terorisme melalui jaringan bisnis yang legal.
Karena itu pula, lembaga keuangan mengalami kesulitan mendeteksi dengan menggunakan instrumen laporan transaksi keuangan mencurigakan atau suspicious transaction report (STR).
Di sejumlah negara, kurangnya pengaturan mengenai pencegahan pendanaan terorisme menimbulkan dampak, organisasi teroris dapat dengan aman mengumpulkan dana.
Kriminalisasi atas perbuatan pendanaan terorisme ini sangat mendesak dijadikan sebagai predicate crime dari tindak pidana pencucian uang. Sangat beralasan jika pendanaan terorisme diklasifikasikan sebagai tindak pidana.
Seorang analis PPTAK menyebutkan, Indonesia sudah merespons secara positif gagasan yang berkembang dalam masyarakat internasional bahwa terorisme dan pendanaan terorisme merupakan tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme menjadi UU, menjadi landasan hukum utama dalam menangani berbagai aksi terorisme di Indonesia.
Pengaturan terorisme sebelumnya sudah diakomodasi dalam UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa terorisme sebagai salah satu kejahatan asal dari money laundering sehingga uang yang berasal dari aktivitas organisasi teroris dapat dikejar dan dituntut dengan UU No 15 Tahun 2002.
PERSOALANNYA, pemberantasan pendanaan terorisme bukan hal yang gampang. Analis PPTAK itu menyebutkan, belum adanya administrasi kependudukan yang tertib, seperti belum adanya kartu identitas tunggal (uniform single ID) bagi setiap orang, seperti halnya dikenal di beberapa negara, antara lain Amerika Serikat dengan Social Security Number.
Pembuatan identitas palsu yang mudah dilakukan pun ikut mempersulit upaya deteksi dan penyelidikan kegiatan pendanaan terorisme.
Penerapan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer) juga belum sepenuhnya dilakukan, baik karena alasan persaingan antarindividu industri, kurangnya penegakan hukum, maupun kurangnya kesadaran nasabah.
Masih dibutuhkan waktu untuk sosialisasi UU Terorisme dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang yang relatif masih baru ini. Di samping itu, dibutuhkan juga perjanjian internasional yang mengatur pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme. (KSP
www.interpol.go.id
Ditulis Oleh : Unknown ~ Blogger Kalianda
Sobat sedang membaca artikel tentang Dana Teroris Berasal dari Narkoba?. Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, dan jangan lupa untuk follow dan meninggalkan komentar sobat.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa tinggalkan komentar dan Follownya untuk perkembangan blog ini. No Approval No Captcha. Langsung Muncul. Happy Blogging ^_^